Guru disebut juga sebagai pendidik. Menurut Kamus Bahasa Indonesia
karya W.J.S. Poerwadarminta, pendidik berarti orang yang mendidik.
Pengertian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan
kegiatan dalam bidang pendidikan. Pendidik dalam bahasa Inggris disebut
teacher, dalam bahasa Arab disebut ustad, mudarris, mu’alim, dan
mu’adib. Dalam literatur yang lain, kita mengenal pendidik sebagai guru,
dosen, pengajar, tutor, lectures, educator, trainer, dan sebagainya.
Guru memiliki tugas yang berat, namun mulia. Pada dirinya tertumpu
beban dan tanggung jawab untuk menyiapkan masa depan lebih baik. Guru
berfungsi sebagai jembatan bagi para peserta didik untuk melintas menuju
masa depan mereka. Bergantung pada jembatan tersebut, ke masa depan
manakah peserta didik tersebut dibawa. Dari tiga penggalan masa (masa
lalu, masa kini, dan masa depan), masa depanlah yang menjadi tujuan
dengan memanfaatkan sebaik-baiknya masa lalu dan masa kini. Tugas guru
adalah mentransformasi generasi penerus demi masa depannya yang lebih
baik, lebih berbudaya, sekaligus membangun peradaban. Ini adalah tugas
yang sangat mulia. Dengan demikian, secara hakiki guru adalah mulia.
Menjadi guru menjadi mulia, bahkan kemuliaannya tanpa memerlukan atribut
aksesorial.
Memuliakan profesi yang mulia (guru) adalah kemuliaan dan hanya
orang-orang mulia yang tahu bagaimana memuliakan dan menghargai
kemuliaan. Sayyidina Ali RA bahkan pernah menyampaikan, ”Saya menjadi
hamba (menghormati dan memuliakan) bagi orang yang mengajarkan kepada
saya meskipun hanya satu huruf.” Bertanggung jawab terhadap pembentukan
masa depan menunjukkan bahwa guru berbeda dengan profesi lain. Sebab,
pendidikan adalah proses yang tidak bisa dibalik (irreversible process).
Dampaknya yang masif pada masa mendatang mengharuskan profesionalitas
guru untuk dijaga, terus ditingkatkan dengan hati-hati. Guru juga mesti
waspada, tidak boleh terjebak hanya karena pertimbangan kepentingan
praktis sesaat.
Guru Sebagai Cermin
Banyak hal yang diajarkan kepada anak didik akan lebih sempurna bila
disertai contoh perbuatan dan perilaku yang baik. Sehingga apa yang
dilakukan guru dapat menjadi teladan dan menjadi cermin bagi
murid-muridnya. M. Furqon Hidayatullah (2009) mengatakan, ada lima
teladan yang dapat dijadikan cermin yang secara filosofi memiliki makna
sebagai berikut:
# Makna 1 : Tempat yang Tepat untuk Introspeksi
Jika becermin, kita akan melihat potret diri kita sesuai dengan
keadaan yang ada. Sebagai guru, kita harus siap menjadi tempat mawas
diri, koreksi diri, atau introspeksi. Untuk itu, kita harus siap menjadi
curahan.
# Makna 2 : Menerima dan Menampakkan Apa Adanya
Cermin memiliki karakteristik bersedia menerima dan memperlihatkan
apa adanya. Untuk itu, sebuah pribadi harus memiliki sifat jujur,
sederhana, objektif, jernih, dan lain-lain.
#Makna 3 : Menerima Kapan pun dan dalam Keadaan Apa pun
Cermin memiliki karakter. Artinya, guru harus bersedia menerima kapan
pun dan dalam keadaan apa pun. Artinya, guru mesti memiliki sifat-sifat
sepeti pengabdian, setia, sabar, dan lain-lain.
# Makna 4 : Tidak Pilih Kasih/Tidak Diskriminatif
Cermin memiliki sifat tidak pernah pilih-pilih. Siapa saja yang mau
bercermin pasti diterima. Artinya, tidak membeda-bedakan atau tidak
diskriminatif. Karena itu, guru harus memiliki jiwa mendidik kepada
siapa pun tanpa pandang bulu, semua anak, apa pun kondisinya harus
dididik tanpa kecuali. Bahkan, kita tidak dibenarkan memisah-misahkan
atau memilih-milih kondisi siswa (exclusive), tetapi harus inklusif
(inclusive) dalam mendidik.
#Makna 5 : Pandai Menyimpan Rahasia
Cermin tidak pernah memperlihatkan siapa yang telah becermin
kepadanya, tak peduli kondisi yang becermin itu baik maupun buruk.
Artinya, cermin memiliki sifat pandai menyimpan rahasia. Sebagai guru
yang pandai menyimpan rahasia, ia juga memiliki sifat sifat ukhuwah atau
persaudaraan, peduli, kebersamaan, tidak menjatuhkan, tidak
mempermalukan orang lain, mengorangkan, dan lain-lain.
Demikian 5 makna filosofi tentang keteladanan guru, semoga bermanfaat.